Kata Kata Bijak HOT

Rabu, 26 September 2012
Kata Kata Bijak ini merupakan sebuah Kata Kata Bijak yang sangat membangud dan memotivasi diri buat anda silakan baca ajha deh kalo gak caya :p

Marilah kita di pagi yang indah ini, menaikkan doa bersama yang lebih straight to the point:

Jika Anda ingin Tuhan menuntun kehidupan Anda dengan rezeki yang baik untuk menuju masa dewasa dan masa tua yang kaya dan mapan, katakanlah ‘Aamiin’

Jika Anda berharap Tuhan selalu memelihara diri dan keluarga Anda dalam kesehatan dan kese
lamatan, katakanlah ‘Aamiin’

Jika Anda merindukan kehidupan keluarga yang ceria, sejahtera dan penuh kebahagiaan, katakanlah ‘Aamiin’

Dan jika Anda yang masih sendiri berharap agar Tuhan menyegerakan pertemuan Anda dengan belahan jiwa Anda, dan menyatukan Anda berdua dalam pernikahan yang penuh cinta, kemapanan dan kesetiaan, katakanlah ‘Aamiin’


Berfokuslah pada satu keinginan yang pencapaiannya memungkinkan
pencapaian dari banyak keinginan.

Segala sesuatu dimulai dari keinginan.

Keinginan bukanlah sumber derita.

Keinginan besar tapi tanpa tindakan adalah pemasti penderitaan.


Tuhanku, kecintaan hatiku
Lihatlah aku

Malam ini aku datang dengan keceriaan anak ...
yang amat manja dan memohon kepada-Mu

Esok pagi,

Jadikanlah pertemuanku dengan sesamaku
sebagai penumpah rezeki besar dari-Mu

Jernihkanlah pikiranku dan beningkanlah hatiku agar cemerlang sumbangsihku bagi sesamaku

Esok pagi,

Bangunkanlah aku sebagai pribadi yang damai, yang Kau kasihi dan yang Kau indahkan rezekiku
Read more

Kata Indah Cerpen Remaja

Jumat, 06 Juli 2012
Kata Indah Cerpen Remaja merupakan Kata Remaja indah yang sanhgata Kata indah moga kalaian suka dengan Kata Kata Indah juga Kata Kata Cinta sila bace jhe lawahhw pusing buat dummy ccd bged dech wakwka

 Setiap orang bisa berbahagia kapan saja, dimana saja. Karena kebahagiaan adalah kesederhanaan hati, tak bergantung pada apapun.

Cinta tidak egois, tak juga memaksa. Ketika kebahagiaan orang yang kamu cintai lebih penting daripada kebahagiaanmu. Itu CINTA.

MAAF tidak bisa menghapus luka yang telah kau torehkan dihati seseorang. Namun buktikanlah ketulusanmu.

Semua yang kita dengar adalah pendapat, bukanlah fakta. Dan apa yang kita lihat hanyalah cara pandang kita, bukan kebenaran.

Sebesar apapun ruang yang diberikan Tuhan pada kita, akan terasa sempit jika tanpa perjuangan dan doa.

Ketika kamu berbicara tentang cinta, pastikan bahwa tindakan mu telah sesuai dengan perkataan mu.

Perasaan TAKUT KECEWA hanya akan membuat kita takut menatap masa depan.

Kenali dirimu lebih dalam untuk mengetahui dimana letak kelebihan dan kekuranganmu.
Read more

Cerpen Cinta : Dan Senja pun Memerah

Selasa, 31 Januari 2012
Cerpen Cinta : Dan Senja pun Memerah sebuah Cerpen Cinta yang sesuatu baget dech Yuk mari baca



Cerpen : Dan Senja pun Memerah

“Jadi, sebenarnya aku ini anak siapa?” seharusnya pertanyaan itu keluar dari mulutku. Tapi entah kenapa aku hanya diam mematung dengan perasaan sedih. Hari itu, di usiaku yang ke 10 tahun aku harus meninggalkan rumah yang telah memberikan kenyamanan padaku selama ini. Kulihat wanita yang selama ini kupanggil dengan sebutan ibu berurai airmata. Lelaki yang biasa kupanggil dengan sebutan bapak hanya diam. Sementara seorang lelaki lain seumuran bapak yang sejak tadi duduk di ruang tamu telah siap membawaku pergi.

“Baik-baik di rumah yang baru ya nduk!” pesan bapak padaku sambil mencium dan memelukku. Aku mencium tangannya, berharap ia bisa mengubah keadaan dengan keputusan yang lain. Tapi sia-sia, tak sepatah katapun yang bapak ucapkan untuk merubah ini semua.

“Nurut sama bapak Hadi ya nduk,” bisik ibu padaku. Airmata menganak sungai di sudut mata wanita yang telah membesarkan aku selama ini. “Di rumah baru ada bapak dan ibumu nduk.”

“Mbak Rina mau pergi ke mana sih bu?” tanya Hani adikku yang berusia 7 tahun. Sementara Lani, si kecil yang baru berusia 4 tahun menarik-narik bajuku tanpa mengerti bahwa sebentar lagi kami akan berpisah.
“Mbakmu mau ke Jawa,” jawab ibu singkat.

Dan di sinilah aku akhirnya, di sebuah rumah dengan seorang lelaki yang kupanggil bapak, istrinya dan dua adik laki-laki. Kehidupan yang berbeda dengan kehidupanku selama ini. Biasanya aku bermain dengan 2 adik perempuan, sekarang aku mengasuh 2 adik laki-laki yang tentu saja sangat berbeda karakternya dengan adik perempuan. Di usiaku yang belia, aku harus bisa menyesuaikan diri dengan tempat yang baru, orang-orang yang baru kukenal, yang asing di mataku walau sebenarnya dia adalah ayah kandungku dan keluarga barunya.

Tak pernah terlintas di benakku bahwa wanita yang selama ini kupanggil ibu itu sebenarnya budheku, kakak dari ibu kandungku. Aku baru mengerti mengapa mereka tak berdaya untuk menahanku lebih lama, karena yang memintaku kembali adalah ayah kandungku. Sedangkan ibu kandungku, aku baru tahu kalau ternyata bulek yang selama ini tinggal di Sumatra adalah wanita yang melahirkan aku. Wanita yang seharusnya membesarkan aku itu sudah menikah lagi dan mempunyai 4 orang anak. Tak pernah lagi kudengar kabar beritanya. Mungkin ia tak peduli padaku. Ah, sepotong mozaik hidup yang harus kulalui. Kehidupan toh terus berjalan. Dalam dukaku, surat demi surat kulayangkan pada budhe dan pakdheku yang sudah kuanggap sebagai orang-tua. Aku kangen pada mereka berdua, yang kerap membesarkan hatiku untuk selalu tegar dan bertahan serta menasehatiku untuk selalu berbakti kepada kedua orangtuaku.

Hari itu seharusnya aku bersuka cita, budhe dan pakdhe akan menemuiku di rumah eyang. Pertemuan yang paling kunantikan setelah empat tahun berpisah. Tapi aku tercenung teringat tulisan budhe. Budhe bilang di suratnya, ibu kandungku pun akan datang dari Sumatra dan akan menetap di desa eyang. Seharusnya aku gembira kan? Wanita yang telah melahirkanku akan kujumpai sebentar lagi. Aku akan melihat parasnya, merasakan belainya yang selama ini belum kurasakan. Tapi entah kenapa, tiba-tiba hatiku marah. Masih pantaskah kupanggil dia ibu setelah ia menelantarkan aku?

“Ibu…. bapak…,” aku memeluk budhe dan pakdheku yang tetap kupanggil dengan sebutan ibu dan bapak. Bagiku mereka berdualah ibu bapakku yang sesungguhnya.

“Aih, kamu sudah remaja nduk, tambah ayu,” budhe meluapkan rasa kangennya padaku. Rumah eyang yang besar terasa sesak dengan kegembiraan kami. Hani dan Lani pun sudah besar sekarang. Mereka tertawa-tawa memelukku. Adik-adikku yang manis, lama sekali aku tak memeluk mereka.

“Mbak Rina, aku sekarang sudah bisa membaca,” pamer Lani padaku. Usianya kini sudah 8 tahun. Aku ingat, semasa aku di rumah budhe, Lani paling senang mendengarkan aku membaca buku pelajaran bahasa Indonesia. Walau belum sekolah, dia sudah hafal karangan yang sering kubaca dan melafazhkannya keras-keras. Iiih, aku mencubit gemas pipi Lani yang tembem.

“Rina, ini ibu….” sebuah suara lembut menyadarkanku. Aku memandang wanita cantik di hadapanku. Badanku kaku, hatiku mengeras. Aku diam seribu bahasa.

“Kamu ndak rindu ibu Rin?” tanyanya sambil berusaha memelukku.

“Pernahkah ibu rindu padaku?!” tanyaku ketus. Ah, mana tutur sapa dan sopan santun yang sudah budhe ajarkan padaku selama ini. Kulihat mata ibu kandungku berkaca-kaca. Mungkin ia tak percaya kalau bakal ditolak oleh anak kandungnya sendiri.

“Rin, ibu minta maaf. Bukan maksud ibu menelantarkanmu, ibu….”

“Kalau tidak menelantarkan, apa dong namanya? Bertahun-tahun aku ikut budhe tanpa tahu kalau sebenarnya budhe itu bukan ibuku. Di saat aku bahagia di tengah keluarga budhe, tiba-tiba bapak Hadi mengambilku dan memberiku seorang ibu tiri. Sementara ibu sendiri tak pernah berusaha menghubungi aku walau hanya dengan selembar surat untuk menanyakan keadaanku. Apa itu yang namanya sayang?” sahutku berapi-api.
Budhe ternganga memandangku tak percaya, apalagi ibu kandungku.

“Rina cah ayu, sini ikut bapak,” kata pakdhe menggamit lenganku. Kulihat dari sudut mataku, pakdhe memberi kode pada ibu kandungku untuk diam di tempat.

Kami berdua berjalan ke teras belakang. Sambil memandang kebun jeruk yang luas kepunyaan eyang, pakdhe menyuruhku duduk. Budhe menyusul kami dan duduk di sebelahku. Wajahnya sedih.

“Rina, ibu mengerti kenapa kamu marah. Ibu bisa merasakan kekecewaanmu. Ibu juga sedih sekali waktu harus berpisah denganmu. Tapi pernahkah Rina bayangkan kalau ibu kandungmu jauh lebih sedih lagi ketika harus menyerahkanmu pada ibu di waktu kamu masih bayi?”
Aku diam.

“Ibu kandungmu itu tak punya pilihan nduk. Dia tak mungkin membesarkanmu seorang diri. Kenapa ia memberikan dirimu pada ibu bukan pada yang lain? Karena ibu kandungmu ingin kamu tumbuh dengan wajar dan hidup dengan nyaman, dan ibu kandungmu cuma percaya sama ibu dan bapak untuk membesarkanmu, apalagi saat itu ibu belum punya Hani dan Lani” jelas budhe.

"Ia bisa menghubungi aku bu, tapi tak pernah ia lakukan. Aku merasa terbuang," isakku.

"Ibumu punya alasan tersendiri nduk, tapi jauh di lubuk hatinya ia sangat menyayangimu. Ia cuma butuh waktu untuk mengungkapkan semua ini ketika saatnya tiba. Dia tidak membuangmu nduk."

“Tapi kenapa bapak Hadi juga mesti memisahkan aku dari ibu dan bapak?” tanyaku. "Aku sudah cukup bahagia tinggal dengan ibu, bapak, dik Hani dan dik Lani."

“Itu hak bapak kandungmu toh nduk. Ibu yakin, Bapak dan ibu Hadi pun menyayangimu, cuma cara mereka mengungkapkannya padamu tentu berbeda dengan cara ibu menyayangimu. Coba seandainya ibu Hadi mendengar perkataanmu tadi, tentu dia juga sedih karena seolah-olah selama ini Rina sengsara hidup bersamanya, jangan sakiti mereka semua nduk. Kita tak pernah meminta takdir jelek. Tapi garis hidup yang Allah berikan pada kita sebaiknya kita terima dengan sabar,” jawab budhe.
Aku berusaha mencerna ucapan budhe, tapi hatiku masih sakit.

“Seharusnya kamu senang toh nduk. Coba bayangkan, orang lain bahkan tak mengenal ibu bapaknya, sedangkan kamu… kamu sungguh beruntung karena Allah memberikan kamu 3 ibu dan 3 bapak sekaligus. Bukankah itu suatu anugrah yang luar biasa?” tanya pakdhe.

“Kamu belum mencoba untuk mengenal ibu kandungmu dan keluarganya Rin. Cobalah, dulu kamu bisa menerima bapak kandungmu dan keluarganya, masa pada ibu kandungmu kamu ndak bisa? Ibu yakin, jika kamu menerima semua ini dengan lapang hati, hidupmu akan senang,” kata budhe.
Aku menarik nafas, membuang beban pikiran yang seharusnya tak perlu kupersoalkan.

“Baiklah bu, Rina akan mencobanya,” jawabku.

“Betul Rin???” tanya ibu kandungku yang tiba-tiba sudah berada di sampingku. Dia memelukku erat-erat. Aku jadi malu. Kupeluk erat kembali tubuhnya, ibu cantik yang telah melahirkanku. Di belakangnya riuh suara adik-adik yang segera mengelilingi. Rupanya mereka dan ayah tiriku baru saja kembali dari rumah kerabatku yang lain. Aku memandang mereka satu persatu, ah… adik-adik yang ganteng dan cantik-cantik seperti paras ibu kandungku dan ayah tiriku. Aku memandang mereka yang tersenyum lebar menyambutku. Kehangatan merambat dalam hati, menggerakkan keinginanku untuk memberikan senyum paling merekah pada mereka. Tak seharusnya aku merusak pertemuan bahagia ini dengan sebuah tuntutan. Aku harus yakin suatu saat ibu pasti akan menjelaskan alasannya kenapa ia tega berpisah denganku darah dagingnya sendiri. Hidup tak selalu menyuguhkan impian indah kita, tapi aku yakin Allah memberikan yang terbaik padaku.

Sementara senja pun mulai turun, langit di ufuk barat mulai memerah. Subhanallah indahnya. Aku tak pernah lagi menyalahkan ibu dan ayah kandungku yang mengambil keputusan untuk berpisah ketika aku telah lahir ke dunia. Masalah hati rahasia mereka berdua, walaupun selalu akhirnya anak-anaklah yang jadi korban akibat sebuah perpisahan. Aku tetap merasakan mereka berdua sesungguhnya menyayangi aku. Sampai saat ini di usia bayaku, aku selalu tersenyum memandang senja yang memerah. Aku selalu bersyukur pada Allah yang telah memberiku anugrah berupa bapak, ibu dan adik-adik yang banyak, yang semuanya menyayangiku.
Read more

Cerpen Cinta Remaja : MIMPI BUNDA

Sabtu, 21 Januari 2012
Cerpen Cinta Remaja : MIMPI BUNDA ini merupakan sebuahCerpen Cinta Remaja untuk seorang bunda cerita nya lumayan sedih juga sanagat mengharukan, hemmm sedikit promosi Cerpen Cinta Remaja Blog ini merupakan postingan pertama dengan founder AnekaRemaja.Com heheh, yuk dari pada ngerocos gak jelas mari kita baca

Malam merayap. Perlahan, namun pasti. Meninggal kan keramaian yang baru saja singgah di kota metropolitan. Lalu, dini hari menyapa dengan senyap nya. Menyisakan kesunyian yang hampa. Keresahan bertahta dalam jiwa seseorang, yang masih betah terjaga. Ia diam dalam gelap, berteman kan sepi dan air mata.

Dini hari tetap membisu. Dinding tembok kelu, tiada suara sesiapa. Sepi senyap. Semua telah terlena. Menanti mimpi-mimpi yang telah berderet , mengantri hendak memasuki alam jiwa. Ada mimpi buruk, lucu, ada juga mimpi indah, semua berbaris rapi, tinggal menanti giliran tiba, lalu berjingkat-jingkat memasuki jiwa setiap orang yang lelap

Bunda masih terjaga. Sehingga, mimpi lelah menanti lenanya. Ia mencoba memejam kan mata, namun, entah mengapa fikiran enggan diajak berkopromi. Ada saja yang hadir dalam benak nya. Raga nya terbaring di ruang tamu yang gelap, namun fikiran nya jauh berkelana, berloncatan menggapai sesuatu yang susah di cerna. Atau barang kali , bisa juga di bilang berhayal. Namun, benarkah bunda berhayal?. Ah tidak!. Bunda tak berhayal, ia hanya mengiginkan sesuatu yang seharus nya ada dalam fikiran nya itu, kini berada dalam genggaman tangan nya.

Bunda kembali menghela nafas. Ia sadar, impian itu tak semudah membalik kan telapak tangan. Dalam hal apapun. Ia membuka mata, menyapukan pandangan keseluruh kamar. Ruangan yang hanya berukuran 4x6 meter itu juga bukan milik nya. Ia hanya numpang ngontrak di sini. Di kota metropolitan ini. Kota yang penuh dengan manusia, serta tipu daya nya.

Ruangan itu hanya di pisah kan oleh sebuah lemari pakaian. Separuh buat ruang tidur, dan separuh lagi buat ruang tamu.

Yang di maksud ruang tamu itu, bukan seperti ruang tamu anda semua. Ada sofa, TV berwarna, atau buffet serta barang-barang antic nya. Ruangan itu hanya sebuah ruangan yang sempit, dan ber alaskan selembar karpet yang telah usang di makan waktu. Dipojok kanan ada TV, juga tak berwarna. Itu pun pemberian orang, karena sememang nya orang itu tak mau lagi. Nora dan gak berwarna, katanya. TV itu di taruh diatas buffet. Anda juga tak perlu susah-susah membayang kan bahwa buffet bunda seperti buffet orang lain. Buffet bunda hanya kerangka besi yang di taruh triplek diatas nya. Itu pun penuh barang-barang lain nya, seperti buku, boneka, remot, dan lain-lain , yang tak muat tampung di ruang tidur.

Bunda mengernyitkan dahi, kedua alis nya menyatu, pandangan remang nya mendapati sebuah foto yang terpajang di atas jendela. Ia menatap tuk beberapa saat. Walaupun ia tak mengambil nya, namun ia hafal betul sesiapa yang berada di dalam pigura tersebut. Dalam satu pigura, ada banyak foto-foto kecil. Semua foto anak-anak nya yang berjumlah enam orang.

Bunda menelan ludah. Enam orang anak nya, semua berjenis kelamin perempuan. Dan bunda bersyukur, karena anak pertamanya melahirkan anak lelaki. Namun cucunya itu juga tak hidup bersama nya. Ia hidup bersama menantunya di kampung halaman.

Kembali ia teringat nasib anak pertamanya di negri orang. Sering anaknya itu mengirimi uang untuk nya, untuk membantu kehidupan nya di Jakarta. Namun ia juga merasa iba dan sedih mendengar bahwa ia kini, tengah ada masalah dengan suaminya. Bunda menghela napas. Dalam batin nya,ia berdoa, moga saja Allah aza wa jalla, memberikan jalan yang lurus serta kebahagiaan buat semua putrinya.

Anak keduanya juga sudah bekerja. Dia hanya seorang baby suster. Penghasilan nya hanya cukup buat kepentingan nya sendiri. Bunda tak berani meminta. Sedang ketiga anak nya yang hidup bersama bunda, mereka masih sekolah. Perlu biaya besar. Ada yang SMK, SMP, Dan SD. Ketiga anak yang tinggal bersama bunda belum bisa mencari uang, bahkan hanya mampu meminta dan meminta, tanpa berfikir bunda ada uang atau tidak nya. Sedang anak yang satunya, kini berada di rumah orang. Karena dari kecil dah pun di asuh oleh nya. Bunda jarang bertemu dengan nya. Hanya sesekali, jika anak itu bermain kekontrakan bunda.

Anak pertama sampai ketiga, berbeda ayah dengan anak ke empat sama ke enam. Itu karena dulu, bunda janda anak tiga, lalu menikah lagi dengan bujang tua orang Betawi. Dari pernikahan dengan bujang itu, bunda mempunyai tiga anak lagi. Namun sayang, sembilan tahun yang silam, saat anak bunda yang terakhir berusia dua tahun, kembali Sang Khalik mengambil orang yang bunda sayang, yaitu suaminya.

Dan semenjak kematian suaminya, bunda mengambil alih tanggung jawab itu sendirian. Mendidik dan membesarkan anak-anak nya. Ia wanita yang tegar dan rajin dalam segala hal. Mengaji, bekerja ataupun ikut dalam arisan, bersama –sama warga lain nya. Ia juga wanita yang teguh dalam pendirian, walau ia janda, namun ia mampu membesarkan semua anak-anak nya tanpa ada yang membantu, kecuali uluran tangan Allah.

Bunda hanya seorang buruh cuci dan bekerja rumah tangga di tiga majikan. Ia amat di percaya oleh majikan majikan nya. Pagi sesudah shalat subuh, bunda akan memasak buat ketiga anak nya, lalu ia pun pergi kerja.

Setelah lama fikiran berkelana, kembali bunda tersadar. Ia menghela nafas. Dadanya terasa sesak. Bingung. Saat ini, bunda tengah mencari uang , tak hanya sedikit dalam pandangan nya. Itu karena gaji bulalan nya hanya cukup buat kebutuhan satu bulan.Tak lebih, malah terkadang kurang. Buat bayar kontrakan, bayar air, listrik, dan buat kebutuhan sehari-hari. Terkadang untuk makan saja bunda ngebon dulu kewarung yang sudah di kenal nya lama. Belum lagi buat biaya sekolah, dan jajan anak-anak.

Fuh,…

Bunda mendesah. Rasa lelah kian membuncah. Bukan hanya lelah badan, namun lelah pikiran. Minggu ini, bunda harus mencari uang sebanyak satu setengah juta, buat biaya study tour putri nya yang sekolah di SMK. Bunda bingung. Mau hutang lagi pada siapa? Sedang hutang-hutang yang lain saja belum bisa melunasi

Ia teringat pada majikan nya. Yaitu Pak Haji Abdullah. Beliau hendak pergi ke tanah suci lagi tahun ini. Bunda ada hutang padanya. Namun Pak Abdullah itu sangat kaya, jadi tak pernah menagih nya. Bunda jadi malu, dalam hatinya, bunda ingin sekali kembali berhutang padanya

“Ah, andai saja nasibku seberuntung nasib nya” batin bunda. Ia ingin sekali ketanah suci. Ah, lagi-lagi ia harus turun dari angan nya. Jangan kan ketanah suci tuk Berhaji, sudah bisa makan dan bisa bayar kontrakan saja bersyukur.

Bunda lelah. Matanya terasa berat. Ia ingin tidur. Di lihat nya jam dinding, jarum jam telah menunjuk angka tiga. Rupanya bunda baru tersadar, kalau ia telah lama hanyut dalam fikiran, dan belum juga mendapat kan solusi , untuk mendapat kan uang.

Beban berat selalu menumpuk di pundak nya. Sendirian bunda meratapi nasib nya, yang merasa agak kurang beruntung. Kantung matanya mulai terasa panas. Bunda menggigit bibir. Ia merasa, dari kecil, sampai saat ini usia nya lima puluh tahun, belum pernah merasakan kebahagiaan yang ia idam kan. Seketika, air mata luntak di atas bantal. Ia hanyut dalam rasa nelangsa. Ingin rasa bunda berbagi cerita, namun pada siapa? Anak-anak masih terlalu kecil baginya untuk memahami perasaan nya.Tak lama kemudin, ia sadar, bahwa rizki dan kematian itu, ada yang mengatur. Bunda menyeka air mata lalu beristighfar.

“Ya Allah, aku tak tahu lagi harus mencari uang kemana untuk biaya study tour anaku. Aku bingung, dan aku yakin Engkau mengetahui kegelisahan ku ini. Aku tak ingin berpikir lebih banyak lagi. Kepalaku sudah terasa berat. Semoga saja Engkau tunjukan aku jalan keluar Ya Allah. Aku pasrah kan segala urusan ku pada Mu , Engkau lah yang Maha Mengetahui. Baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Biar kan aku kini tertidur, aku merasa lelah” lirih bunda.

Kembali ia menyeka air mata. Ia benar-benar lelah. Setelah seharian bekerja membanting tulang, di tambah memeras otak untuk memikirkan kebutuhan yang semakin mencekik kehidupan nya. Kini bunda ingin memejam kan mata, rehat sejenak. Esok bunda harus bangun awal, seperti hari-hari biasa nya. Ia pun mulai memejam kan mata. Ia telah memasrahkan segala urusan nya, pada Sang Khalik, Tuhan yang tak pernah tidur, dan yang selalu sibuk dengan urusan mahluk Nya.

Bunda menggendong cucu lelakinya. Ia menciumi pipinya yang tembam. Bocah itu menatap lekat wajah berkerut neneknya, lalu ia menangis karena takut melihat nenek nya yang telah ompong gigi depan nya. Bunda sedih, di lepas nya pelukan itu. Bocah itu diam di tangan menantunya. Namun tak lama kemudian, menantunya pula harusberangkat bekerja, sehingga, bundalah yang harus mengasuh nya.

Crotttttt…

Suara bocah lucu itu berak. Di lihat nya popok , benar saja, kotoran itu berwarna kuning. Bau menyengat ruangan, namun bocah itu tertawa riang.

“Hm…. Bau.” Ucap bunda, sambil gemas menciumi pipi cucunya. Sang cucu tertawa kegelian. Di bukanya popok itu, terlihat kotoran yang telah berantakan hingga terkeluar dari bokong . Dengan sabar bunda mengelap kotoran itu hingga bersih.

“Bocah bau, bocah bau” gurau bunda, sambil menimang-nimang cucu tersayang nya.

“Ash shalaatu khairun minan naum” Bunda terbeliak, perlahan ia membuka mata. Sayup-sayup terdengar adzan subuh berkumandang dari mushala Rt sebelah. Bunda diam sesaat. Matanya terasa perih. Ia tahu mengapa. Semalam ia kurang tidur dan menangis. Bunda mengingat ingat mimpinya barusan. Ia bermimpi tentang cucunya sewaktu masih bayi. Padahal sekarang cucunya sudah besar, sudah sekolah dasar. Bunda menghela nafas, ia teringat pertemuan terakhir dengan cucunya dulu. Sudah satu tahun yang lalu. Apakah karena tadi malam sebelum tidur aku teringat cucuku, sehingga terbawa mimpi yah?. Pikir bunda.

Suasana masih sepi, anak-anak belum bangun . Bunda mencoba untuk bangun, namun ia merasakan seluruh tubuhnya kaku dan sakit. Itu karena ia tertidur di karpet ruang tamu, tidak seperti biasa nya, ia tidur ber empat dengan anak-anak nya di kamar sebelah.

Perlahan bunda beranjak ke kamar mandi. Perlu keluar rumah bila ia hendak ke kamar mandi. Itu karena kamar mandi beserta dapur nya adalah milik umum. Milik orang-orang yang bersama-sama mengontrak di sekeliling nya. Dan letak nya berada di belakang kontrakan .

Setelah berwudhu, bunda shalat subuh. Ia memohon ampun pada Allah, karena semalam lupa shalat tahajud. Setelah shalat, seperti biasa, bunda akan memasak buat anak-anak, sebelum ia pergi kerja.

Bunda pergi ke dapur, ia lupa. Semalam minyak goreng nya habis, dan sekarang ia bingung mau nggoreng tempe. Bunda pun bergegas pergi ke warung Bu Tirto, dengan niat mau membeli minyak goreng. Suasana masih agak gelap. Hanya sedikit orang yang tampak, itu pun mereka yang kemungkinan baru pulang dari mushala.

Tepat di belokan gang besar, bunda di kagetkan oleh seseorang. Lelaki bertubuh tinggi besar, dan memakai topeng tiba-tiba berlari terburu-buru lalu menabrak nya. Seketika tubuh mereka terpelanting. Bunda terjatuh kedalam parit kecil, dan lelaki itu terbentur tiang listrik. Bunda menjerit histeris.

Kaki bunda berdarah, namun lelaki itu tak peduli sama sekali. Ia buru-buru meraup barang-barang yang berhamburan tadi, sambil menatap bunda, seolah dia takut ada benda yang tercecer, atau karena tengah benar-benar terburu-buru. Bunda tak faham dengan tatapan lelaki tadi, yang seolah ketakutan atau kasian melihat bunda. Yang jelas lelaki itu tak mau menolong, apalagi meminta maaf. Ia berlari terbirit-birit seperti tengah di kejar syetan. Sedikitpun tak menoleh bunda yang mengaduh kesakitan di dalam parit. Tak lama kemudian, saat bunda perlahan bangun dari got, terlihat dua orang polisi berlari-lari di belakang lelaki tersebut. Bunda berpikir sejenak. Apa pak polisi itu sedang mengejar nya? Batin nya.

Bunda mengumpat kesal lelaki tersebut, yang mengakibatkan kaki nya terluka, serta bajunya kotor berlumur limbah parit.Perlahan bunda bangun dari parit.

“Duh Gusti,…mimpi apa aku semalam?.Kenapa kok pagi-pagi dah dapat sial begini?. Bukan kah aku mimpi lihat tai. Seharus nya dapat rejeki.” Gumam bunda, sambil memijit-mijit kakinya.

Sambil terus meluruskan lututnya yang berdarah, bunda melihat bungkusan berwarna hitam sebelah telapak kakinya. Ia mengernyitkan dahi, alis nya menyatu dan kedua matanya menatap lekat bungkusan warna hitam itu. Bunda mengangkat pantatnya mendekati benda itu. Perlahan ia perhatikan. Bungkusan hitam dari bahan blusdru, diambil nya. Lalu bunda melihat isinya.

Seketika bunda terbelalak. Matanya terbuka lebar. Bibirnya melongo . Bulu kuduk nya meremang. Dadanya bergemuruh. Bunda termangu. Tangan nya bergetar, dan pikiran bunda kalang kabut. Bingung, takut, serta tak tahu lagi harus berbuat apa. Lekas-lekas bunda mendekap bungkusan itu.

“Ya allah, inikah rizki yang Engkau janjikan?” Bunda mengangkat kedua telapak tangan nya. Seketika ia lupa pada lutut nya yang berdarah.

Di masukan nya bungkusan blusdru kecil itu ke dalam kutang. Perlahan ia bangun dan tertatih. Dengan langkah pincang bunda mencoba berjalan. Ia bersimpangan dengan Bu Royo. Seketika Bu Royo kaget melihat bunda yang jalan nya terpincang-pincang dan baju kotor serta berbau.

“Lho, ada apa bu? Kok baju nya kotor?” Tanya Bu Royo.

“Iya bu, tadi saya terjatuh di got” jawab bunda. Seketika mereka berpisah.

Sesampai nya di rumah, bunda langsung mandi dan mencuci baju nya. Di kamar mandi, kembali ia menatap isi dari bungkusan kain blusdru itu. Ia pun masih tercengan dan tak percaya. Ia diam sambil mengeluarkan, satu persatu barang itu. Barang yang tak pernah ia sentuh dan pakai sebelum nya, dan yang membuat nya bingung tapi bahagia. Lama bunda memperhatikan, ingin rasanya bunda memakai, namuan apa kata orang nanti. ”Bunda mencuri !” . Pasti tak ada orang yang kan percaya, kalau bunda mampu membeli emas serta berlian yang sebesar itu. Bunda takut orang-orang akan menuduh nya yang bukan-bukan. Yang jelas, karena profesi bunda hanya sebagai tukang cuci, jadi kalau mereka tahu bunda mempunyai emas sebanyak itu, pasti akan menimbulkan masalah.

Tak terasa pintu kamar mandi di ketuk orang.

“Bunda lagi apa sih di dalam. Kami mau mandi nih. Nanti telat ke sekolah.” Suara anak tetangga, membuyarkan fikiran nya. Lekas-lelas bunda memasukan bungkusan itu kedalam kantong saku , lalu ia cemat kan peniti agar aman.

Sambil memasak, pikiran bunda kembali bingung. Apa yang akan di lakukan dengan emas itu. Mata bunda menatap tempe yang di goreng nya, namun fikiran bunda berkelana. Ia tak sadar, sehingga tempenya gosong.

Lutut bunda sakit. Terpaksa ia izin tak masuk kerja. Setelah anak-anak pergi sekolah, bunda terbaring di kamar. Di kunci nya pintu agar aman.Di dalam kamar bunda kembali melihat barang-itu, bahkan memaki nya sesaat. Bunda tersenyum di depan cermin. Giginya yang ompong depan terlihat. Bunda terus tersenyum bahagia. Pertama kali dalam hidup nya, bunda memakai kalung sebesar ibu jari. Itupun karena ia nemu di pinggir parit.

Bunda mengingat-ingat lelaki yang menabrak nya tadi.

“Apakah dia perampok?” Pikir bunda. Ia melepas kalung nya. Lalu barang siapa ini? Apakah aku harus mencari pemiliknya? Tapi mencari kemana? Pikiran bunda kembali gundah. Ya allah, apa yang harus aku lakukan?.Bunda melihat berlian itu. Ah pasti mahal harganya. Lalu kemana ia harus menjual nya? Apakah kalau ia menjual di toko emas, tak ada orang yang curiga?

Bunda di landa gelisah. Ia pun shalat Dhuha. Setelah selesai, bunda sujud syukur. Ia menangis pada sang Khalik. Menangis karena syukur atas nikmat nya yang tiada terkira.

Keesokan harinya, bunda pergi ke toko mas. Jauh, tak di daerah nya. Bunda takut kalau dekat akan membawa petaka baginya. Saat bunda di Tanya tentang kwitansi pembelian emas tersebut, bunda gagap. Akhirnya bunda jujur, dan bersumpah atas nama Allah beserta rassul nya,kalau barang itu hanya penemuan kemarin pagi, jadi tak ada surat-surat. Pemilik took itu sempat haru mendengar cerita bunda, yang sememang nya jujur. Bahkan bunda langsung dibawa kedalam ruangan yang khusus, dan di berinya air minum. Bunda lega karena pemilik toko mas itu seorang haji, jadi bunda tak sungkan atau takut untuk menceritakan semua.

Bunda menelan ludah ,menatap banyak nya uang yang ia terima. Ia justru bingung. Mau di kemanakan uang sebanyak itu. Setelah berbincang-bincang, bunda meminta pemilik toko untuk menyimpan semua uang nya. Pemilk took itu menggeleng kan kepala, sambil tersenyum haru. Tak lama kemudian, bunda di bawa ke kantor bank. Ia di buatkan rekening bank, lalu semua uang hasil penjualan mas, di masukan kedalam bank nya nya.

Dua puluh lima juta bukan uang yang sedikit bagi bunda. Ia pun mengadakan syukuran dan membagikan pada anak-anak yatim piatu. Untuk menghindari curiga tetangga, bunda seperti biasa bekerja, baginya uang itu untuk masa tua nya kelak. Tetangga atau anak-anaknya tak ada yang tahu. Bunda telah pun niatkan dalam hati, bahwa Allah aza wa jalla yang tahu akan semua ini. Terima kasih Ya Allah, Engkau lah yang maha mengetahi apa yang manusia tak ketahui.

Cerpen Cinta Remaja : MIMPI BUNDA bagaimana menurut kalian dengan Cerpen ini bagus gak? silakan koment dech
Read more